Sabtu, 16 Maret 2013

Pengendalian Hama Terpadu Pada Tanaman Kacang Hijau

BAB I
PENDAHULUAN

1.1         Latar Belakang


Dari sekian banyak tanaman kacang-kacangan di Indonesia, salah satu jenis yang sangat populer di Indonesia adalah kacang hijau (Vigna radiate). Kacang hijau telah lama dikenal dan berkembang di Indonesia, antara lain sebagai bahan pangan (tauge, kue, bubur, dan lain-lain). Namun demikian sampai dengan saat ini kacang hijau masih banyak diusahakan sebagai usaha tani sampingan atau tambahan diluar usaha tani utama, seperti padi.
Kacang hijau merupakan salah satu prioritas pengembangan dan peningkataan produksi disamping komoditas pangan lainnya. Prospek pengembangan kacang hijau cukup bagus, mengingat permintaan yang hampir selalu meningkat setiap tahun kecuali pada tiga tahun tertentu (1991, 1994, 1997) yang pertumbuhannya negatif. Untuk memenuhi kebutuhan kacang hijau dalam negeri, setiap tahun pemerintah Indonesia harus mengimpor kacang hijau sejumlah 309 - 73.191 ton per-tahun. Sementara produksi kacang hijau yang dihasilkan secara nasional baru mencapai sekitar 237.447  357.991 ton per-tahun (Pinem, 2000).
Beberapa upaya diprogramkan oleh pemerintah untuk meningkatkan produksi kacang hijau secara nasional, antara lain melalui peningkatan produktivitas dan perluasan areal tanam. Namun demikian banyak hal teknis yang dihadapi dalam upaya meningkatkan produktivitas kacang hijau. Salah satu resiko yang dihadapi dalam peningkatkan produktivitas kacang hijau adalah gangguan organism pengganggu tumbuhan (OPT). Beberapa jenis OPT yang telah dikenal menyerang kacang hijau antara lain thrips, perusak daun, perusak polong, dan berbagai pathogen penyakit.
Kedua program peningkatkan produktivitas kacang hijau yang disebutkan dimuka sangat terkait erat dengan resiko peningkatan gangguan OPT. Peningkatkan produktivitas dimungkinkan dengan berbagai peningkatan masukan yang dapat menimbulkan peningkatan serangan OPT. Begitu pula, perluasan areal tanam yang antara lain dalam bentuk peningkatan indeks pertanaman (IP) dan penanaman di areal baru, akan berdampak pula pada peningkatan gangguan OPT.
Sementara itu dilain pihak, kemampuan teknis petugas lapang (termasuk mahasiswa) dalam memfasilitasi dan membimbing petani untuk mengatasi gangguan OPT terbatas. Untuk itu bagi para petugas lapangan diperlukan adanya bahan informasi yang dapat dijadikan sebagai pedoman atau acuan dalam pengendaian OPT.
Atas dasar hal diatas, maka dibuatlah makalah Pengendalian Hama Terpadu pada Kacang Hijau ini. Diharapkan makalah ini dapat digunakan sebagai bahan acuan untukmembimbing dan menfasilitasi pengendalian OPT yang dilakukan oleh petani.

1.2         Tujuan


Tujuan dari dibuatnya makalah ini adalah sebagai bahan informasi dalam pengendalian hama yang tepat pada budidaya tanaman kacang hijau.


BAB II
ISI

2.1       Budidaya Tanaman Kacang hijau

2.1.1        Taksonomi Kacang Hijau
Taksonomi tanaman kacang hijau(Vigna radiata) adalah sebagai berikut:
§  Kingdom               : Plant Kingdom
§  Divisio                   : Sprmatophyta
§  Subdivisio             : Angiospermae
§  Class                      : Dycotyledonae
§  Ordo                      : Polypetalae
§  Famili                    : Papilionidae
§  Subfamili               : Leguminosae
§  Genus                    : Vigna
§  Spesies                  : Vigna radiata

Gambar 1. Tanaman kacang hijau yang baru berkecambah

            
           Selain Vigna radiata, terdapat beberapa spesies dari genus Vigna, yaitu V. aconitifilia Jacq, V. angularis (Willd) atau P. angularis (Willd), V. trilobata (L.) Verdc. Atau P. trilobatus (L.) Schreb.,  V. umbellata (Thunb.) atau P. calcaratus Roxb., V. mungo (L.) Hepper atau P. mungo L.
Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, saat ini terdapat lebih dari 2000 jenis tanaman kacang hijau yang berhasil dibudidayakan yang tersebar luas dibeberapanegara seperti : Thailand, Birma, Srilangka, Indonesia, Philipina, beberapa Negara di Afrika, Amerika dan Australia (Kay, 1977; Lawn dan Ahn, 1985; Purseglove, 1977 dalam Trustinah, 1991).

2.1.2        Morfologi Kacang Hijau

Trustinah (1991) mengidentifikasi bahwa morfologi kacang hijau adalah sebagai berikut: tanaman kacang hijau merupakan tanaman semusim dengan tinggi tanaman berkisar antara 30-130 cm dan tipe pertumbuhannya dapat dibedakan menjadi 2 tipe yaitu tipe determinit dan semi determinit.
  • Tipe determinit,  adalah tipe tanaman yang ujung batangnya tidak melilit, pembungaannya singkat, serempak, dan pertumbuhan vegetatifnya berhenti setelah tanaman berbunga. Contohnya adalah varietas Merak dan Walet.
  • Tipe indeterminit (semi determinit), adalah tipe tanaman yang ujung batangnya melilit, pembungaan berangsur-angsur dari pangkal kebagian pucuk dan pertumbuhan vegetatif terus berlanjut setelah berbunga. Contohnya adalah varietas Arta Ijo dan Siwalik.
System perakaran kacang hijau dibedakan menjadi dua (2), yaitu:
  • Mesophytes, adalah pada sistem perakarannya mempunyai banyak akar cabang pada permukaan tanah dan pada umumnya menyebar.
  • Xesophytes, adalah pada sistem perakarannya mempunyai banyak akar cabang yang lebih sedikit dan memanjang kearah bawah dan akar tunggang lebih panjang.
Tanaman kacang hijau memiliki batang yang berbentuk bulat dan berbuku-buku. Pada tiap buku menghasilkan satu tangkai daun, kecuali pada daun pertama berupa sepasang daun yang berhadapan dan masing-masing berupa daun tunggal dan bertangkai biasanya disebut dengan epikotil.
Pada batang utama terdapat beberapa ccabang yang muncul dari buku bagian bawah. Batang dan cabang tersebut biasanya berwarna hijau muda, hiajau tua, ungu muda atau ungu tua. Bunga terdapat pada batang utama atau pada cabang. Jumlah buku subur pada setiap tanaman dapat mencapai 5-8 buku subur, dan buku subur pertama biasanya terdapat pada buku ke-5 atau ke-6.
Tanaman kacang hijau memiliki daun yang letaknya berseling (alternate) dan dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu:
  • Daun pertama (“primary leaves”), merupakan dua daun tunggal yang letaknya berhadap-adapan pada daun utama. Daun pertama ini berbentuk oval (ovate) atau agak lancip (lanceolate). Panjang daun pertama dapat berukuran pendek (1,8 - 2,0 cm), sedang (2,4 - 2,6 cm) dan panjang (3,0 - 3,3 cm). lebar daun pertama dapat sempit (0,3 - 0,4 cm), sedang (0,7 - 0,8 cm) dan lebar (1,1 - 1,2 cm).
  • Daun terminal adalah yang tumbuh diatas daun pertama. Semua daun terminal memiliki 3 helaian daun (trifoliate) dan 5 helaian daun (pentafoliate) yang berbentuk oval, agak lancip atau seperti hati. Warna daun kacang hijau bermacam-macam yaitu hijau muda, hijau atau hijau tua.
Bunga merupakan bagian yang sangat penting karena didalamnya terjadi prose penyerbukan dan pembuahan yang dapat menghasilkan biji. Tanaman kacang hijau merupakan tanaman yang mengalami penyerbukan sendiri (“self pollination”)
Tanaman kacang hijau mulai menghasilkan bunga pada minggu ke-6 atau minggu ke-8 setelah tanam. Bunga tersususn dalam bentuk tandan (raceme) pada bagian atas dari tangkai bunga, daun masing-masing tandan mempunyai 1-20 bunga. Bunga bersifat “cleistogamy” yaitu bunga akan mekar setelah terjadi penyerbukan.
Periode pembungaan dibedakan menjadi:
  • Ansynchronous, adalah pembungaan yang tidak serempak dan lama pembungaanya antara 21-35 hari.
  • Intermediate, dengan lama pembungaanya antara 21-25 hari.
Penyerbukan pada kacang hijau terjadi malam hari, dimana kepala sari (anther) mmulai pecah sekitar pukul 21.00 dan terbuka sempurna pada pukul 24.00. Bunga kacang hijau akan mekar pagi eesokan harinya dan layu pada siang harinya.
Buah (polong) kacang hijau berbentuk bulat silindris atau pipih dengan ujung runcing atau tumpul. Polong muda berrwarna hijau kelam atau hijau tua, dan setelah tua polong berwarna hitam atau coklat jerami dengan panjang antara 6-15 cm. polong-polong tersebut memiliki rambut pendek dan berisi 10-15 biji.
Biji kacang hijau berbentuk bulat dan pada umumnya lebih kecil dibandingkan dengan biji kacang-kacang lainnya. Biji kacang hijau berwarna hijau,coklat,kuning atau hitam dan hiliumnya ada yang cekung atau tidak cekung.

2.1.3        Fase Pertumbuhan Kacang Hijau
Fase pertumbuhan tanaman kacang hijau terdiri dari fase vegetatif dan fase reproduktif. Pada fase vegetatif dan fase reproduktif masing-masing mengalami beberapa tahap/stadia tumbuh.
Fase pertumbuhan kacang hijau terdiri fase vegetatif dan reproduktif. Fase vegetatif terjadi pada umur 0 - 35 hst dan selebihnya adalah fase reproduktif. Fase vegetatif dimulai dari perkecamah, pertambahan jumlah daun, peningkatan tinggi tanaman yang diikuti dengan pertambahan jumlah buku dan peningkatan berat tanaman. Sedangkan masa reproduktif dimulai timbulnya bunga sampai panen.
 
2.1.4        Lingkungan Pertumbuhan Kacang Hijau
Beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan kacang hijau antara lain varietas, suhu, curah hujan, lama penyinaran, tinggi tempat, keadaan tanah dan cara budidayanya. Kacang hijau tumbuh baik didaerah iklim tropis pada suhu sekitar 28 -30 0C. Curah hujan optimal untuk pertumbuhan kacang hijau sekitar antara 700 - 900 mm/tahun. Walaupun demikian kacang hijjau masih dapat tumbuh dengan memanfaatkan kelembaban tanah dan air tanah sebelumnya, sehingga kacang hijau dikenal dengan tanaman yang toleran terhadap kekeringan. Kacang hijau dapat tuumbuh pada daerah dataran rendah sampai pada ketinggian 800 m dpl.
Kacang hijau dapat hidup pada berbagai jenis tanah,terutama pada tanah yang gumbur,memiliki drainnase baik,mempunyai kapasitas menahan air yang tinggi dan memiliki pH 5,5 -6,5. Walaupun demikian kacang hijau masih dapat pula tumbuh pada tanah yang agak masam berstuktur lempung, tanah alkalis maupun salin.

2.2       Pengendalian Hama Terpadu (PHT)

2.2.1    Pengertian PHT
Dalam Undang-undang No. 12/1992 tentang Sitem Budidaya Tanaman, ditetapkan bahwa dalam pengendalian OPT atau perlindungan Tanaman digunakan system pengendalian hama terpadu (PHT). Dalam penjelasan penjelasan undang-undang tersebut, PHT diberi pengertian sebagai: upaya pengendalian populasi atau tingkat serangan organisme pengganggu tumbuhan dengan menggunakan satu atau lebih dari berbagai teknik pengendalian yang dikembangkan dalam satu kesatuan, untuk mencegah timbulnya kerugian secara ekonomis dan kerusakan lingkungan hidup. Dalam sistem ini, pestisida merupakan alternatif terakhir. Pengendalian organism pengganggu tumbuhan bersifat dinamis.
Dalam pelaksanaannya juga ditetapkan bahwa pengendalian OPT menjadi tanggung jawab masyarakat dan pemerintah. Pemerintah dalam hal ini lebih berperan dalam memfasilitasi pengendalian yang dilakukan oleh petani. Pemerintah berkewajiban menyampaikan informasi/ penyuluhan, memfasilitasi agar sarana yang diperlukan mudah diperoleh dengan mutu yang baik dan harga wajar, menetapkankebijakan-kebijakan yang mendukung, dan dapat memberikan bantuan apabila terjadi eksplosi serangan dan atau pengendalian sumber serangan sesuai kemampuan yang dimiliki.
Dalam penerapan PHT mengacu kepada empat prinsip, yaitu: 1). budidaya tanaman sehat, 2). Pelestarian musuh alami, 3). Pemantauan ekosistem secara teratur, dan 4). Petani sebagai penentu keputusan pengendalian atau sebagai ahli PHT.
Budidaya tanaman sehat menjadi bagian yang penting dalam pengelolaan OPT, karena tanaman yang sehat cenderung mempunyai ketahanan ekologis yang lebih tinggi. Musuh alami sebagai salah satu unsur pengendalian alamiah harus dikelola, dimamfaatkan dan dilestarikan keberadaannya sehingga mampu berperan secara optimal. Prinsip bahwa OPT dan musuh alami merupakan bagian integral dari ekosistem pertanian menjadi landasan pelaksanaan PHT.  Musuh alami berfungsi dalam mengatur keberadaan populasi OPT sehingga selalu berada pada tingkat yang secara relative stabil dan tidak menimbulkan kerusakan yang menyebabkan kerugian ekonomi.
Untuk memantau perkembangan populasi OPT, musuh alami dan perkembangan unsur-unsur lingkungan yang lain, perlu dilakukan pemantauan secara berkelanjutan. Dengan pemantauan rutin, menganalisis hasil pemantauan dan belajar memutuskan sendiri langkah-langkah yang harus dilakukan atas dasar hasil analisis tersebut, diharapkan petani menjadi ahli PHT dilahan usahataninya.
Dengan demikian, pada dasarnya penerapan PHT harus sesuai dan diselaraskan dengan      alam. Penerapan PHT didasarkan kepada pendekatan ekologis, ekonomis,social dan budaya. Dilihat dari landasan filofosil PHT maka dalam penerapan PHT maka dalam penerapan PHT mengikuti norma-norma 1). keanekaragaman ekologis, social dan budaya, 2). Keuntungan ekonomi, 3). Keberlanjutan produksi, 4). Kualitas produksi dan 5). Ketahanan usahatani terhadap gangguan dari luar.
Prinsip PHT menuntun adanya keserasian dengan alam dalam setiap pengendalian OPT maupun kesesuaian dengan kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Penerapan PHT harus disesuaikan dengan kondisi  lingkungan setempat yang bersifat spsifik lokasi. Dengan demikian PHT bukan merupakan “paket teknologi” yang diterapkan secara nasional atau regional secara sama. Oleh karena itu manipulasi unsur-unsur lingkungan (alam) setempat secara harmonis untuk mengendalikan populasi OPT merupakan langkah pertama dan utama.

2.2.2    Strategi PHT
            Strategi yang dapat digunakan untuk menerapkan PHT adalah 1). perencanaan ekosistem, 2). Pengelolaan ekositem, 3). penerapan berbagai teknik, 4). penerapan teknologi pengendalian spesifik lokasi.
1.      Perencanaan ekosistem
           Pada prinsipnya kondisi ekosistem pertanian yang diinginkan adalah kondisi tanaman dapat tumbuh sehat, baik dan memberikan hasil yang baik, serta populasi dan serangan OPTtidak menimbulkan kerugian secara ekonomi.kondisi seperti itu diusahakan dapat “dirancang” dan”diptakan”. Hal ini dapat dilakukan antara lain dengan memilih komoditas yang akan ditanam, varietas yang dipilih, waktu tanam yang memuungkinkan OPT tidak berkembang, jarak tanam yang tepat , pemupukaan berimbang dan berbgai tindakan lain yang tidak menguntungkan perkembangan OPT.
2.      Pengelolaan ekosistem
          Ekosistem pertanian merupakan ekosistem buatan yang secara umum relative rentan terhadap perubahan dan timbulnya gangguan OPT. untuk itu mengelola ekosistem diarahkkan bagi terciptanya kondisi yang tidak menguntungkan pertumbuhan dan perkembangna OPT. langkah-langkah pengelola ekosistem yang dapat dilakukan antara lain pemupukan berimbang, pemasangan pagar/ perlindung, penggunaan pestisida secara bijaksana, pelestarian musuh alami, penanaman tanaman jagung sebagai tanaman perangkap atau barier, dan lain-lain.
3.      Penerapan berbagai teknik
            Strategi pengendalian OPT dapat pula diartikan sebagai pengaturan penerapan berbagai teknik/ cara/ taktik pengendalian. Secara garis besar, cara-cara pengendalian OPT dapat dibedakan antara lain cara bercocok tanam, cara fisis, cara mekanis, cara biologis, cara kimiawi, cara genetis, dan cara apenegakan perundang-undangan. Dalam PHT, berbagai cara pegendalian tersebut pada prinsipnya perlu diintegrasikaan menjadi satu kesatuan rencana secara harmonis. Oleh karena itu berbagai cara yang diterapkan haruslah kompatibel atau dapat saling digabungkan.
4.      Penerapan teknologi spesifik lokasi
            PHT bukan “paket teknologi”, karena harus disesuikan dengan kondisi lingkungan setempat. Cara-cara yang diterapkan disuatu lokasi belum tentu sesuai apabila diterapkan dilokasi lain. Oleh karena itu prinsip penerapan teknologi spesifik lokasi merupakan dsar penerapan PHT. Pada dasarnya tidak ada dua lokasi yang berbeda memiliki kondisi lingkungan yang sama.
2.3       Pengelolaan Tanaman dan Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT)
Sebagai perwujudan pedoman penerapan PHT pada tanaman kacang hijau, dilakukan pendekatan atas dasar fase tumbuh tanaman. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa setiap fase tumbuh tanaman mmpunyai karesteristik masing-masing, baik dalam hal kondisi lingkunagan optimal yang diperlukan maupun hubungannya dengan jenis OPT. dalam pedoman ini fase tumbuh tanaman kacang hijau disederhanakan agar mudah dalam pengelolaan dan juga atas dasar keterkaitan dengan OPT yang ada. Banyak jenis-jenis OPT yang penting atau sering dijumpai pada suatu fase tumbuh tertentu, tidak dijumpai atau menjadi tidak penting pada fase tumbuh lainnya.

2.3.1        Fase Pratanam
1.      Karesteristi Ekosistem
Pertumbuhan kacang hijau memerlukan iklim panas sehingga biassanya ditanam pada musim kemarau setelah tanaman padi. Kacang hijau dapat tumbuh pada berbagai tipe tanah, tetapi paling cocok pada tanah lempung atau liat sampai lempung yang mempunyai kandungan bahan organik tinggi dan pH tanah 5,5-6,5.
Pada lahan bekas tanaman palawija yang mempunyai jenis OPT yang sama dengan kacang hijau, sisa-sisa tanaman merupakan tempat bertahannya cendawan tetentu yang akan menjadi sumber infeksi tanaman inang berikutnya (kacang hijau). Selain itu terdapat pula populasi hama yang merupakan sumber serangan yang perlu diwapadai.
2.      Perencanaan Budidaya dan Pengelola Ekosistem
A.    Perencanaan tanam serentak
Tanam serentak harus diprogramkan secara matang jauh sebelum musim tanam tiba. Tanam serentak tersebut meliputi tanaman kacang-kacangan lain, karena beberaapa jenis OPT dapat mempunyai inang yang sama dengan tanaman kacang hijau. Kacang hijau dan kedelai mempunyai hama utama yang sama, kecuali Phaedonia inclusa yang bukan merupakan hama kacang hijau. Sedangkan Maruca testulalis merupakan hama perusak polong yang penting pada kacang hijau.
B.     Perencanaan pola tanam atau pergiliran tanaman
Pergiliran tanaman selain didasarkan pada tujuan ntuk pemutusan rantai makanan bagi hama dan penyakit juga didasarkan pada peningkatan produktifitas lahan (terutama lahan kering).
Pergiliran tanaman disesuaikan dengan jenis lahan, tipe pengairan atau lamanya bulan basa. Kacang hijau dapat dibudidayakan secara monokultur atau tumpangsari. Pada lahan tegalan kacang hijau dapat ditanam secara tumpangsari dengan jagung atau ubi kayu. Pergiliran tanaman dengan pola tumpangsari disesuaikan denga  kondisi setempat.
C.     Pemilihan varietas
Varietas unggul digunakan sesuai dengan jenis lahan dan apabila memungkinkan digunakan varietas yang tahan atau toleran terhaddap penyakit endemis setempat.
D.    Persiapan benih
Benih yang digunakan harus benih murni (tidak tercampur dengan varietas lain), daya kecambah minimal 80%, mulus, tidak keriput, tidak berlubang dan sehat (tidak bercendawan maupun bukan berasal dari tanaman yang terserang virus.
E.     Pengolahan tanah
Pada lahan sawah (irigasi dan tadah hujan), kacang hijau ditanam setelah padi dan lahan tidak perlu diolah. Apabila gulma menjadi masalah atau di daerah endemis penyakit dilakukan pengolahan tanah secara dangkal. Di daerah endemis penyakit busuk pangkal batang Rhizoctonia solani, penyakit layu Sclerotium rolfsii, perlu dilakukan sanitasi sisa-sisa tanaman untuk menghilangkan sumber inokulum dengan cara dibakar. Di daerah bekas serangan virus mozaik kacang hijau (MMV), virus mozaik kuning buncis (BYMV), penyakit cendawan (embun tepung, bercak daun, kudis) dan hama (lalat kacang, kutu kebul), perlu dilakukan sanitasi sisa-sisa tanaman, baik pada kacang hijau tau tanaman kacang-kacangan yang terinfeksi dengan cara dibakar. Pada lahan tegalan pengolahan tanah sebaiknya dilakukan hingga gembur dan bersih dari gulma.
F.      Pembuatan saluran drainase
Air dari lahan sawah dikeluarkan (dikeringkan) pada saat 10-15 hari sebelum panen padi. Pada saat panen padi, hendaknya pemotongan jerami dilakukan serendah mungkin  (3-5 cm diatas permukaan tanah). Kemudian dibuat pari-parit drainase keliling, membujur (jarak antar parit 2-4 m) dan melintang lahan sesuai dengan keadaan lahan, jenis lahan dan topografi. Pada lahan tegalan jarak antar parit membujur biasanya lebih lebar dari pada lahan sawah, yaitu 4-5 m atau tergantung keadaan lahan. Pembuatan saluran drainase yang baik yaitu lebar 25-30 cm dan kedalaman 20-30 cm.

2.3.2        Fase Tanam
1.      Karesteristik ekosistem
Biasanya populasi hama dan musuh alami sangat rendah pada saat tanam. Pengolahan lahan pada suatu hamparan dilakukan serentak dan waktu tanam juga serentak (termasuk kacang-kacangan lain dianjukan paling lama hanya berlangsung 10 hari). Serangan hama seringkali ditemukan pada tanaman inang liar , oleh karena itu harus diperhatikan populasinya.
2.      Budidaya dan pengelolaan ekosistem
A.    Jarak tanam
Apabila kacang hijau ditanam secara monokultur, jarak tanamnya tergantung karesteristik varietas, kesuburan tanah, dan musim. Sebagai pedoman jarak tanam yang berhubungan dengan karesteristik varietas adalah sebagai berikut: tanaman yang kurang bercabang 25 cm x 25 cm, 30 cm x 20 cm, 40 cm x 15 cm; dan tanaman yang bercabang banyak 40 cm x 20 cm.
Apabila kacang hijau ditanaman secara tumpangsari dengan jagung atau ubi kayu maka jarak tanamnya disesuaikan.
B.     Cara tanam
Pada lahan bekas tanaman padi sawah maupun tegalan penanamnan kacang hijau dilakukan dengan cara tugal. Tiap lubang tugal diisi 2-3 biji, kemudian ditutup dengan tanah berpasir tipis-tipis atau abu jerami.
Di daerah endemis lalat buah Helicoverpa armigera dan kepik hijau Nezara viridula, apabila memungkinkan dapat dipersiapkan lahan untuk tanaman perangkap jagung guna memerangkap ulat buah kacang hijau, kepik hijau, dan lalat kacang.
Di daerah serangan Thrips dianjurkan untuk tidak menanam kacang hijau pada bulan juni, untuk menghindari peningkatan populasi Thrips, atau disesuaikan dengan dinamika populasi Thrips dimasing-masing lokasi.
Pada daerah endemisserangan lalat kacang perlu digunakan mulsa jerami guna menekan munculnya lalat kacang selama pertumbuhan tanaman.
C.     Pemupukan
Pupuk Urea, TSP, dan KCl/ ZK diberikan secara berimbang pada saat tanam dalam alur-alur, atau dimasukkan lubang tegal disamping lubang tanam. Dosis pupuk yang diberikan yaitu 50 kg Urea, 50 kg TSP dan 50 kg KCl atau disesuaikan dengan rekomendasi setempat.
D.    Pelakuan lahan
Untuk menekan perkembangan penyakit busuk pangkal batang Rhizoctonia solani dan penyakit layu S. rolfsii secara lebih awal, dapat dilakukan aplikasi substrat yang mengandung agens hayati Pseudomonas fluorescens, Gliocladium spp. Atau Trichoderma spp.

2.3.3        Fase Tanaman Muda (tumbuh – 10 hst)
1.      Karesteristik ekossistem
Pada fase ini OPT yang menyerang adalah lalat kacang (Ophiomya phaseoli). Sedangkan OPT penting yang perlu dipantau adalah Thrips sp. Dan serangan cendawan tular tanah Rhizoctonia solani.
2.      Budidaya dan pengelolaan ekosistem
Apabila terdapat tanaman yang mati dilakukan penyulaman(umur 4-7 hst). Kelembaban tanah perlu diperhatikan agar tidak becek dan kekeringan.
3.      Pengamatan, analisis ekosistem dan pengambilan keputusan
A.    Pengamatan
Tanaman yang layu karena cendawan S. rolfsii, tanaman sakit karena virus mozaik kacang hijau (MMV) dan virus mozaik kuning buncis (BYMV) segera dicabut, dibenamkan atau dibakar. Apabila intensitas serangan <2,5% dilakukan sanitasi pada tanaman terserang. Apabila dijumpai populasi atau intensitas serangan hama lalat kacang telah mencapai 2 ekor/30 rumpun atau ≥ 2,5% tanaman terserang segera lakukan pengendalian korektif dengan insektisida efektif dan aman terhadap manusia dan lingkungan.
Di daerah endemis virus MMV dan BYMV apabila dijumpai populasi vektor Appis craccivora dan terdapat gejala virus dapat dilakukan pengendalian vektor dengan insektisida efektif. Apabila penyakit kudis mencapai intensitas ≥ 20% dilakukan pengendalian dengan fungisida efektif.

2.3.4        Fase Vegetatif (11-30 hst)
1.      Karakteristik ekosistem
Awal fase ini daun trifoliat (majemuk) pertama telah membuka penuh, tanaman tumbuh dan berkembang hingga berbunga pada umur 20 hst.
Hama utama yang mungkin dijumpai di pertanaman ialah ulat grayak (Spodoptera litura) dan ulat jengkal (Chrysodeixis chalcites).
Serangga hama lainnya yang mungkin dijumpai ialah penggerek pucuk (Agromyza dolichostigma), pelipat daun (Biloba/Stomopteryx subsecivella),penggulung daun (Lamprosema indicata, adoxophyses sp.dan Homona sp.), kumbang tanah kuning dan tungau merah (tetranychus cinnabarius).
Serangan virus yang ditularkan oleh vektor, yaitu kutu hijau dan kutu kebul sampai tanaman berumur 21 hst masih sangat membahayakan pertumbuhan tanaman dan produksi.
Imago ulat buah datang pada sekitar tanaman berumur 25 hst, dan pada umur tersebut tanaman sangat disukai untuk tempat meletakkan telurnya, termasuk ulat grayak dan ulat jengkal.
            Kerusakan daun pada fase ini masih dapat dikompensasi dengan pembentukan daun baru. Kehilangan daun sampai dengan 50% pada fase ini hanya menurunkan produksi sekitar 3%, tetapi keberadan hama daun perlu diwaspadai agar dapat dikendalikan sebelum mencapai instar 4 dan tidak merusak pada fase berikutnya.
            Pertanaman kacang hijau MK I setelah padi biasanya relatif bebasdari serangan penyakit karat. Serangn penyakit karat biasanya terjadi pada tanaman kacang-kacangan kedua terutama apabila terjadi keterlambatan tanam.
2.      Budidaya dan pengelolaan ekosistem
Penyiangan dilakukan pada umur 14-28 hst. Apabila tidak ada hujan, perlu diairi setiap 1-2 minggu sekali (tergantung keadaan) dan dilakukan sampai dengan seminggu sebelum panen, terutama pada saat pembungaan dan pengisian polong.
3.      Pengamatan, analisis ekosistem dan pengambilan keputusan
A.    Pengamatan
Pada fase ini hama dan penyakit penting yang perlu diperhatikan adalah Thrips sp dan hama daun yaitu ulat grayak, ulat jengkal dan penggulung daun; sedangkan serangga hama lainnya biasanya tidak menghawatirkan. Penyakit penting yang perlu duperhatikan ialah penyakit layu ialah R. Solani. Pada fase ini biasanya ditemukan berbagaio musuh alami.
Predator biasanya lebih dominan dari pada parasitoid. Predator yang biasa ditemukan yaitu laba-laba, kumbang Coccinellidae, capung semut api, belalang sembah, vespidae, Asilidae, Carabidae dan Paederus sp. Parasitaoid yang biasa banyak dijumpai yaitu Agromyzidae, dan parasitoid hama daun misalnya Apanteles sp dan Snelleius sp.
B.     Analisis ekosistem dan pengambilan keputusan
Kerusakan daun pada fase ini relatif tidak menurunkan produksi secara nyata. Oleh karena itu pengendalian hama daun seperti ulat grayak cukup dilakukan dengan cara mekanis, karena biasanya pada fase ini hama tersebut baru mulai meletakkan telur atau larva kecil masih mengelompok dan kemungkinan besar populasi musuh alami mulai meningkat. Apabila tidak diperlukan hindari penggunaan pestisida untuk memberi kesempatan musuh alami berkembangbiak, sehingga peranannya dialam dapat meningkat.
            Tanaman yang mati karena penyakit layu R. Rosali dan tanaman yang sakit karena virus mozaik kacang hijau (MMV) dan virus mozaik buncis (BYMV) segera dicabut, dibenamkan atau dibakar ditempat lain di luar lahan pertanian. Apabila daerah ini merupakan endemis penyakit layu, maka perlu diantisipasi secara dini dengan pembalikan tanah yang dalam atau dibuat saluran drainase atau penambahan agens antagonis atau kompos/pupuk kandang yang matang.
            Apabila serangan penyakit embun tepung, bercak daun dan kudis mencapai intensitas ≥ 20 % dilakukan pengendalian dengan fungsida efektif. Didaerah indemis virus MMV dan BYMV apabila dijumpai vektor virus Aphis sp dan gejala serangan virus dapat dilakukan pengendalian serangga vektor.
           
Untuk menekan pertumbuhan populasi ulat grayak secara awal dapat dilakukan pengumpulan kelompok telur. Apabila dijumpai populasi ulat berkelompok mencapai ≥ 2 kelompok instar 1/30 rumpun atau < 180 instar 2/30 dapat dilakukan pengumpulan ulat yang berkelompok. Apabila populasi masih tinggi atau kerusakan melampaui ambang pengendalian (180 instar 1/20 rumpun, 10 instar 3/10 rumpun atau ≥ 25 % kerusakan daun), dapat dilakukan aplikasi dengan insektisida efektif yang aman bagi manusia dan lingkungan. Apabila tersedia biakan agens hayati SL-NPV diaplikasikan untuk menekan perkembangan ulat grayak.
Apabila dijumpai larva dewasa ulat jengkal (Crysodeixis chalcites/Trichloplusiani oricbalcea) dapat dilakukan pengumpulan ulat besar. Bila populasi masih tinggi dan atau kerusakan daun melampaui ambang pengendalian (200 instar 1/10 rumpun, 120 instar 2/10 rumpun, 20 instar 2/10 rumpun atau 25% kerusakan daun), agar dilakukan aplikasi insektisida efektif yang aman bagi manusia dan lingkungan.
Apabila populasi ulat buah instar awal tinggi melampaui ambang pengendalian (50 instar 1/10 rumpun), dapat digunakan insektisida efektif yang aman bagi manusia dan lingkungan. Bila sarana agens hayati memadai dapat dilakukan penyamprotan Ha-NPV untuk menekan populasi ulat buah.

2.3.5        Fase Berbunga, Pembentukan dan Pengisian Polong (31-50 hst)
1.      Karakteristik ekosistem
Pada fase ini, kacang hijau mulai berbunga kemudian membentuk polong dan biji. Pada prinsipnya keberadaan dan jenis hama yang menyerang tanaman pada fase ini adalah penggulung daun, ulat grayak, ulat jengkal, ulat buah, kepik hijau dan penggerek polong (Maruca testulalis).
            Pada fase ini merupakan fase kritis tanaman terhadap serangan ulat penggerek polong. M. testulalis, karena hama ini mulai meletakkan telur pada kuncup bunga dan larvanya merusak bunga, polong dan biji yang terbentuk. Selain itu, ulat buah Heliothis armigera dan Heliothis sp. sering menimbulkan serangan serius.
            Penyakit penting yang seringmuncul pada fase ini ialah penyakit bercak daun Cercospora canescens, kudis Elsinoe iwatae dan embun tepung Erysiphe poligoni.
2.      Budidaya dan pengelolaan ekosistem
Pada fase ini tanaman membutuhkan air yang cukup, karena itu kondisi lahan harus selalu diperhatikan agar pengairan dapat dilakukan pada waktunya. Pada fase ini tidak dilakukan penyiangan, karena penyiangan terakhir telah dilakukan pada umur 28 hst.
3.      Pengamatan, analisis ekosistem dan pengambilan keputusan
A.    Pengamatan
Hama penting yang perlu dipantau secara intensif ialah ulat buah, penggerek polong dan pengisap polong (N. Viridula, P. Hybneri, Riptortus spp). Sedangkan penyakit penting yang perlu dipantau ialah bercak daun Cercospora canescens, embun tepung Erysiphe poligoni, dan kudis Elsinoe iwatae.
B.     Analisis ekosistem dan pengambilan keputusan
Pengambilan keputusan dapat dilakukan dengan mengamati dan menganalisis kondisi ekosistem yang ada yaitu:
§  Apabila ditemukan ulat grayak dan populasinya rendah, pengendalian dilakukan dengan cara pengumpulan kelompok telur, ulat instar muda yang masih mengelompok dan pengumpulan larva dewasa instar 4-6. Apabila populasinya masih tinggi dan kerusakan daun melampaui ambang pengendalian ≥ 180 instar 2/10 rumpun atau 15 instar 3/10 rumpun atau ≥ 12,5% daun rusak dapat digunakan insektisida efektif.
§  Apabila diperlukan, dilakukan pengendalian mekanis terhadap kelompok telur, nimpa instar 1-3, serta imago N. Viridula, P. Hybneri, serta imago Riptortus spp.
§  Apabila dijumpai kepik menghisap polong mencapai ambang pengendalian 2 ekor/10 rumpun dapat dilakukan aplikasi insektisida efektif.
§  Apabila berdasarkan hasil pemantauan kacang hijau yang menggunakan tanaman perangkap jagung untuk memerangkap ulat buah , tanaman jagung dapat dipanen apabila rambut tongkolnya telah layu dan didalamnya terdapat ulat buah dapat dilakukan pengumpulan larva dewasa H. Armigera. Bila populasi buah cukup tinggi atau kerusakan buah melampaui ambang pengendalian15 instar 2/10 rumpun atau 10 instar 3/10 rumpun atau ≥ 2% polong rusak dapat digunakan insektisida efektif. penggunaan Ha-NPV apabila populasi ulat buah dominan.
§  Apabila terdapat 20% daun terserang penyakit (bercak daun, penyakit kudis, dan embun tepung) perlu dilakukan pengendalian dengan fungisida efektif.
Hindari penggunaan insektisida yang tidak diperlukan untuk memberi kesempatan musuh alami berkembangbiak.

2.3.6        Fase Pertumbuhan Polong dan Biji (51-60 hst)
1.      Karakteristik
Pada fase ini berlangsung pengisian biji atau pemasakan polong,tergantung varietas yang ditanam dan hama-hama perusak polong masih mungkin merusak. Dalam kondisi tertentu penyakit bercak daun Cercospora sp. embun tepung Erysiphe poligoni dan penyakit kudis Elsinoe iwatae masih mungkin dapat berkembang.
2.      Budidaya dan pengelolaan ekosistem
Kebutuhan air pada fase pengisian polong dan biji mulai berkurang. Tetapi untuk varietas yang berumur dalam masih memerlukan air lebih banyak, sehingga apabila memungkinkan dapat diairi sesuai kebutuhan.
3.      Pengamatan, analisis ekosistem dan pengambilan keputusan
A.    Pengamatan
Jenis OPT yang perlu diwaspadai pada fase ini adalah hama ulat grayak, ulat jengkal, penggerek polong (M. testulalis), bercak daun Cercospora sp., embun tepung dan penyakit kudis.
B.     Analisis ekosistem dan pengambilan keputusan
Pengambilan keputusan dapat dilakukan dengan mengamati dan menganalisis kondisi ekosistem yang ada yaitu:
§  Apabila ditemukan ulat grayak dan populasinya rendah, pengendaliannya dilakukan dengan cara pengumpulan kelompok telur, ulat instar 1 larva dewasa (instar 4-6).
§  Apabila populasinya tinggi dan atau kerusakan daun melampaui ambang pengendalian (≥ 180 instar 2/10 rumpun, ≥ 120 instar 3/10 rumpun atau ≥ 12,5% daun rusak) dapat digunakan insektisida efektif dan aman bagi manusia dan lingkungan.
§  Apabila kepadatan populasi ulat jengkal rendah dapat dikendalikan secara mekanis, yaitu dengan pengumpulan larva dewasa.
§  Apabila populasi ulat jengkal tinggi dan atau kerusakan daun melampaui ambang pengendalian (≥ 200 instar 1/10 rumpun, ≥ 120 instar 2/10 rumpun atau > instar 3/10 rumpun atau 12,5% polong rusak) dapat digunakan insektisida efektif dan aman bagi manusia dan lingkungan.
§  Apabila populasi penggerek polong (penggugur bunga) mencapai ambang pengendalian (≥ 2 ekor/rumpun atau 2,5% polong terserang) dapat dilakukan pengendalian dengan pestisida efektif dan aman bagi manusia dan lingkungan.

2.3.7        Fase Pemasakan Polong (61 hst – panen)
1.      Karateristik ekosistem
Pada fase ini polong telah berisi penuh, bahkan untuk verietas genjah (Merak) sudah mulai dipanen. Serangan hama kurang berpengaruhterhadap reproduksi, kecuali apabila populasi tinggi, terutama hama penghisap polong. Serangan penggerek polong dan ulat buah dapat terjadi apabila pada fase sebelumnya tidak dikendalikan.
2.      Budidaya dan pengelolaan ekosistem
            Entuk mempercepat pemasakan polong dan biji, pada fase pemasakan polong ini perlu diadakan pengeringan lahan paling lambat seminggu sebelum panen. Untuk varietas genjah pengeringan lahan dilakukan sebelum 61 hst.
3.      Pengamatan, analisis ekosistem dan pengambilan keputusan
A.    Pengamatan
            Jenis OPT  yang perlu diwaspadai pada fase ini adalah hama penghisap polong, penggerek polong dan ulat buah.
B.     Analisis ekosistem, dan pengambilan keputusan
            pengambilan keputusan dapat dilakukan dengan mengamati dan menganalisis kondisi ekosistem yang ada yaitu :
ü  Apabila pada fase ini masih dijumpai hama-hama perusak polong (pengisap polong dan ulat buah) perlu dilakukan pengendalian secara mekanis. Penggerek polong harus diantisipasi dengan baik sejak fase sebelumnya.

2.3.8 Panen
            Panen dilakukan setelah hampir semua polong mengering, tetapi apabila pemasakan atau pengeringan polong tidak serentak, maka panen dilakukan secara bertahap (2 sampai 3 kali).

 
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN


3.1       Kesimpulan
Kacang hijau merupakan salah satu prioritas pengembangan dan peningkataan produksi disamping komoditas pangan lainnya. Beberapa upaya diprogramkan oleh pemerintah untuk meningkatkan produksi kacang hijau secara nasional, antara lain melalui peningkatan produktivitas dan perluasan areal tanam.
Namun demikian banyak hal teknis yang dihadapi dalam upaya meningkatkan produktivitas kacang hijau. Salah satu resiko yang dihadapi dalam peningkatkan produktivitas kacang hijau adalah gangguan organism pengganggu tumbuhan (OPT). Beberapa jenis OPT yang telah dikenal menyerang kacang hijau antara lain thrips, perusak daun, perusak polong, dan berbagai pathogen penyakit.
Oleh karena itu, diperlukan suatu metode pengendalian resiko tersebut yaitu dengan metode Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Dimana metode ini sangat baik karna akan menjaga kualitas dan kuantitas produksi kacang hijau. Disamping itu metode PHT juga dapat menjaga kualitas lingkungan serta menjaga stabilitas ekosistem pertanian.
 
3.2       Saran
            Sebaiknya pada petani dalam melakuan pengendalian hama dan penyakit harus sesuai dengan metode Pengendalian Hama Terpadu (PHT) agar tidak terjadi kerusakan lingkungan yang tidak diinginkan.


DAFTAR PUSTAKA


Direktorat Perlindungan Tanaman. 2000. Pedoman Rekomendasi Pengendalian Organisme           Penggangu Tumbuhan Pada Tanaman Kacang- Kacanga ,Edisi Kacang Hijau.

Sudarto, dkk. 2002. Daya Hasi Beberapa Varietas Kacang Hijau Pada Lahan Keering di             Lombok Timur, NTB. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. Lombok.

Anwari, M. dan R. Iswanto. 2004. Kutilang Varietas Kacang Hijau Tahan penyakit Embun          Tepung. Berita Puslitbangtan No. 29, April 2004

Nurdin, F. 1994. Kacang Hijau di Sumatera Barat: Budidaya, Hama, dan pengendaliannya di      tingkat petani. Risalah Seminar Balittan Sukarami. Vol. III. Balittan Sukarami


                                                                          LAMPIRAN

VARIETAS UNGGUL KACANG HIJAU SERTA REAKSI KETAHANANNYA TERHADAP PENYAKIT UTAMA

No.
Varietas
Umur
(hari)
Rerata hasil
(ton/ha)
Reaksi Terhadap Penyakit
Layu
Karat
Bck. Daun
Kudis

1.
Siwalik
100
0,9
-
-
-
-
2.
Arta Ijo
99
0,9
-
-
-
-
3.
Bhakti
70
1,4
-
-
-
-
4.
No. 129
58
1,6
-
-
P
P
5.
Merak
56
1,6
-
-
P
P
6.
Nuri
58
1,6
-
-
T
-
7.
Manyar
58
1,6
-
T
T
-
8.
Betet
60
1,5
-
T
P
AT
9.
Walet
58
1,6
-
-
T
-
10.
Gelatik
58
1,6
-
-
T
-
11.
Parkit
56
1,35
-
-
-
-
12.
Merpati
58
1,2-1,8
-
-
T
-
13.
Camar
60
1-2
-
-
T
-

Keterangan:                 T = Tahan    AT = Agak Tahan   P = Peka
 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar